Aku lebih senang jika penduduk bumi tak kenal benda aneh bernama lampu atau aku akan lebih bahagia jika si Thomas Alva Edison tak begitu sesumbar dengan barang temuannya. Aku berharap dulu ia mati tersengat listrik atau tersedak filament wolfram ketika ia tak sengaja menyelipkan benda itu diantara labium inferius dan superiusnya. Menyayat bagian esofagus, dengan gerakan peristaltik yang tak ada ampun.
Malam ini langit bersih. Tak ada awan berserabut mengaburkan kepekatan warnanya, meski tak murni gelap. Jelas,dengan ritual makhluk bumi yang kini kian memberhalai kegemerlapan. Kadang aku berharap bisa menyaksikan aurora di bagian bumi yang sedang aku pijak. Kalaupun aurora terlalu mustahil, halo pun tak masalah. Jika masih juga tidak memungkinkan, setidaknya aku ingin menikmati konstelasi dengan jelas dari celah jendelaku. Tapi hal yang satu itupun juga tak kalah mustahilnya. Meski pupilku dapat membesar seluas bola matapun, takkan ada hasil,.
H-A-N-U-N-G. Hanung. Ia biasa mengajakku ke puncak Bukit Imogiri. Bagian selatan kota ini. Kota dengan tugu yang secara simbolis sebagai patokan arah garis lurus bersifat magis yang menghubungkan Puncak Gunung Merapi, Keraton dan Laut Selatan.Bagian yang lebih aman dari asap polusi atau sorotan silau benda pemancar cahaya yang aku anggap semakin menyesakkan hidup.
Apa masalahnya jika malam gelap? Bukankah siang sudah terpuaskan untuk menikmati terik matahari? Bukankah Tuhan menciptakan malam,
menitipkan gelap,
agar kau bisa terlelap dalam tidurmu yang nyenyak? Beristirahat dari penatnya
hiruk-pikuk dunia? Entahlah,
manusia memang sulit untuk dimengerti kemana alur pemikirannya. Yang pasti ketika malam gelap, pada
pekat yang sempurna, aku akan lebih memilih meniduri bumi. Memunggungi tepatnya. Menelisik ke angkasa.Menghadap langit malam yang bertabur
gemerlap bintang. Dengan
sanggahan kedua tangan. Di
atas rerumputan atau pasir pantai.Diantara
hembusan angin pegunungan atau tembang ombak yang menderu. Dan akan lengkap rasanya jika
disampingmu adalah seseorang yang kau cinta..
"Anjani,
kau lihat rasi Crux itu?”
Aku mengangguk.
"Jika para pelaut ataupun mereka yang sedang mengelana memaknainya sebagai penunjuk arah Selatan, maka ia akan membantuku menemukan rasi cinta."
"Kau dapat darimana asterisma itu Nung?"
"Semenjak aku mengenalmu, sejak itu pula aku bisa menarik garis dari Gacrux.Dengan dua garis melengkung yang simetris menggantung pada bintang paling terang di bagian lebih selatan darinya.”
Suaranya masih terngiang dalam ingatanku.Kini suaranya semakin berdentum.Makin keras pula menghantam bagian paling rapuh dariku.Memaksa pituitary menjalankan tugasnya sebagai master of gland. Menghadirkan kenangan tentangnya memang selalu berlaku bagai palu godam yang hampir meremukkan benteng pertahananku. Nyaris menghentikan pelarianku.Terseok, dan aku masih harus bertolak.
"Masihkah ada asterisma cinta bagimu Nung?Atau memang masih ada namun hanya tak lagi untukku?"Kalimat terakhir pada lembaran kertasku hari ini.Basah.Cairan bening yang sedari tadi menetes dari sudut mataku merembes pada pori-pori kertas.Beradu pada pekat tinta yang tak kalah cepat meresap mematuhi hukum kapilaritas.
-----
Aku mengangguk.
"Jika para pelaut ataupun mereka yang sedang mengelana memaknainya sebagai penunjuk arah Selatan, maka ia akan membantuku menemukan rasi cinta."
"Kau dapat darimana asterisma itu Nung?"
"Semenjak aku mengenalmu, sejak itu pula aku bisa menarik garis dari Gacrux.Dengan dua garis melengkung yang simetris menggantung pada bintang paling terang di bagian lebih selatan darinya.”
Suaranya masih terngiang dalam ingatanku.Kini suaranya semakin berdentum.Makin keras pula menghantam bagian paling rapuh dariku.Memaksa pituitary menjalankan tugasnya sebagai master of gland. Menghadirkan kenangan tentangnya memang selalu berlaku bagai palu godam yang hampir meremukkan benteng pertahananku. Nyaris menghentikan pelarianku.Terseok, dan aku masih harus bertolak.
"Masihkah ada asterisma cinta bagimu Nung?Atau memang masih ada namun hanya tak lagi untukku?"Kalimat terakhir pada lembaran kertasku hari ini.Basah.Cairan bening yang sedari tadi menetes dari sudut mataku merembes pada pori-pori kertas.Beradu pada pekat tinta yang tak kalah cepat meresap mematuhi hukum kapilaritas.
-----
Malam tadi
aku sungguh bahagia Nung. Ketika PLN
mematikan aliran listrik.Saat setiap orang mengutuki keadaan. Mengeluarkan
segala sumpah serapah yang ada dan menyesali kegelapan. Aku pikir tak ada yang lebih membahagiakan dari ini.Entah
ini terlihat egois atau tidak, tapi mereka juga sama egoisnya. Memberhalai
kegemerlapan, mengubah waktu yang Tuhan berikan untuk terlelap menjadi
malam-malam yang sibuk dan menyilaukan.Sebenarnya aku tak terlalu bermasalah
dengan itu. Tetapi yang sedikit mengusikku
adalah mereka yang menyalahi kodrat, mengganti siang menjadi malam, dan malam
menjadi siang. Jika kita
masih memelihara gelap dari malam, tau apa
mereka tentang dunia malam? Yang aku
tau, anak-anak takkan jauh berada dari pelataran rumah. Bermain sebuah permainan kuno dengan anak-anak
kampung yang lain. Masih menyadari kehadiran bulan.Bermain sambil mendendangkan sebuah lagu,
“Padang Bulan”
Aku pikir dengan itu mereka bisa merasakan Tuhan Nung. Lewat interaksi dan penghayatannya akan alam. Ibu-ibupun akan sibuk menidurkan anak dalam dekapannya.dan ketika tugas tersebut usaiIa akan memiliki waktu berkualitas dengan pasangan hidupnya. Merencanakan agenda esok hari. Berbincang dalam sebuah dimensi tanpa jarak. Dalam kegelapan. Sebuah dimensi yang terlalu sulit ditemukan pada zaman yang telah terengkuh oleh keangkuhan modernisasi yang kurang mengerti etika.
Malam tadi, Kota ini sungguh indah Nung. Gelap sempurna.Aku bisa melihat konstelasi dari celah jendela kamarku.Beruntungnya tak perlu lagi mencari.Tepat dihadapanku, aku bisa menemukan Rasi Crux. Dan asterisma cintamu begitu jelas terlihat bagiku Num.
“Bolehkah aku menunjukkan asterisma cinta itu pada seseorang Nung? Seseorang yang membuatku tak menganggapmu sebagai seorang bajingan, pengkhianat atau apalah itu sebutan bagi seseorang yang kau anggap mengkhianati hidupmu”
“Padang Bulan”
Aku pikir dengan itu mereka bisa merasakan Tuhan Nung. Lewat interaksi dan penghayatannya akan alam. Ibu-ibupun akan sibuk menidurkan anak dalam dekapannya.dan ketika tugas tersebut usaiIa akan memiliki waktu berkualitas dengan pasangan hidupnya. Merencanakan agenda esok hari. Berbincang dalam sebuah dimensi tanpa jarak. Dalam kegelapan. Sebuah dimensi yang terlalu sulit ditemukan pada zaman yang telah terengkuh oleh keangkuhan modernisasi yang kurang mengerti etika.
Malam tadi, Kota ini sungguh indah Nung. Gelap sempurna.Aku bisa melihat konstelasi dari celah jendela kamarku.Beruntungnya tak perlu lagi mencari.Tepat dihadapanku, aku bisa menemukan Rasi Crux. Dan asterisma cintamu begitu jelas terlihat bagiku Num.
“Bolehkah aku menunjukkan asterisma cinta itu pada seseorang Nung? Seseorang yang membuatku tak menganggapmu sebagai seorang bajingan, pengkhianat atau apalah itu sebutan bagi seseorang yang kau anggap mengkhianati hidupmu”
Mataku kini berkaca-kaca. Tak ada kaca yang lebih bening dari ini pikirku.Karena pada saat yang sama, dengan sebuah cairan bening yang membanjiri setiap bagian bola mataku, aku seperti melihat Alpha Crux sebagai sebenar-benarnya bintang ganda. Walau memang seperti itu nyatanya, namunaku tak perlu teleskop saat ini..
“Seperti Acrux yang kini terlihat benar-benar ganda bagiku.Akupun sadar,jika kaupun kini telah berdua Nung. Bersama seseorang yang juga kau cinta. Aku hanya berharap, seseorang itu adalah sebenar-benarnya bintang yang membuatmu tetap ganda dan terlihat seperti bintang tunggal yang terang dari bumi.Biarlah aku tetap dalam rengkuhanmu, disisi seberang sana pada posisi Gacrux, agar rasi ini tetap utuh dan mampu mengarahkan kita untuk menemukan asterisma cinta. Meski asterisma cintamu tak lagi untukku. Dan aku juga telah mampu memandang asterisma cintamu dengan seseorang disampingku.”
Malam ini aku hanya mampu bergumam Nung, tanpa menuliskan sederet katapun tentangmu diatas secarik kertas. Karena aku cukup tau, kala itu pula, setiap kisah yang aku tulis akan melebur bersama air mata yang tak pernah bisa kubendung. Dan rembesan tinta yang semakin melebar membuatnya tak berarti lagi. Hingga saat inipun, hatiku masih ngilu untuk hanya sekedar mengenangmu Nung. Juga asterisma cintamu.
-----
Beberapa waktu terakhir ini aku tak pernah meminta gelap Nung. Aku sama sekali tak mengharapkannya. Bukan aku berhenti mengutuki mereka yang tengah memberhalai kegemerlapan lebih dari apapun. Aku hanya tak ingin gelap semakin memperjelas bayangan sosokmu dalam pandanganku yang menerawang pada pekatnya. Aku kira, kontraksi otot radial yang membuat pupil semakin melebar saat mengumpulkan berkas sinar dalam gelap juga membuat hatiku semakin pedih dengan luka yang kembali menganga. Mendesak sebuah sekat yang telah susah payah aku tegakkan.
Pada waktu yang sama ketika gelap, aku akan mengingat janjimu untuk menikmati setiap waktu datangnya ataupun melepas kepergian sang mentari. Pada batas antara kaki langit dan ujung samudera yang saling bertemu membentuk sebuah garis yang takkan pernah membuat kita jenuh memandangnya. Diantara zenit dan nadir. Sambil menyeruput teh bersama. Kau duduk disampingku, memegang punggung tanganku. Sesekali kau eratkan genggaman tanganmu. Menyuruhku bersandar dalam dekapanmu. Mengecup keningku. Seraya memberikan senyum terindah untukku. Tak bosan membisikkan sebuah kalimat. Kalimat yang memuarakan air dari nirwana. "AKU MENCINTAIMU DENGAN HATI" . Sebuah kalimat yg terdengar sayup-sayup terbawa hembusan angin. Angin yang membelai mesra setiap helai rambut yang kian memutih. Menerpa wajah yang semakin keriput. Kita membunuh waktu berdua. Mendengarkan deru ombak yang syahdu. Sembari menunggu temaram cahaya berwarna jingga, jatuh pada permukaan kulit yang semakin berkerut, menggambar siluet pada ubin beranda rumah.
Juga pada janjimu, yang pula akan setia menemaniku bersandar dibawah pohon besar pada pekatnya gelap ditengah dua bidang dengan berkas sinar berpendar. Dimana hanya karena dengan gravitasi kita akan tau mana ruang yang berpadu pada antariksa.
-----the end-----