Batas Senja
"Tempat
ini tak pernah sepi ya Bang kalau hari mulai senja." Gadis berwajah
bundar itu mengambil posisi untuk duduk di sebelahku. Obrolan pembuka
yang hangat meski kami pun sama-sama tau bahwa kalimat tersebut hanyalah
basa-basi yang amat dipaksakan.
"Kau benar Alita. Terlebih
ketika musim panas berangin seperti saat ini, langit senja tak hanya
indah dengan semburat jingga mentari yang hendak kandas di garis
cakrawala. Banyak sekali layang-layang bermacam warna dan bentuk saling
berebutan ruang." Obrolan dari mulutku keluar dengan lancar meski
tenggorokanku serasa tercekat.
"Kau tau kan aturan main disini Alita?" Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba melihat reaksi dari wajahnya.
"Tau Bang. Siapa yang lebih dulu memegang benang layangan yang telah
putus dari sambungan benang si pengendali pertama, dia lah yang berhak
memiliki layangan itu." Ia menundukkan wajahnya menghadap ke tanah
sambil membuat coretan abstrak dengan ranting pohon yang entah sejak
kapan ia genggam di tangannya.
"Dari aturan itu aku menjadi lebih
lega untuk melepasmu Alita. Takdir. Ya, takdir. Aturan itu aku maknai
sama dengan takdir. Setiap orang berhak mengejar layang-layang yang
telah putus itu. Orang yang paling kuat dan cepat dalam berlari pastilah
akan kita duga sebagai orang pertama yang akan mendapatkan
layang-layang. Tapi ternyata tidak semudah itu Alita. Ketika tinggal
sejengkal lagi ia merengkuh layang-layang tersebut bisa saja angin yang
lumayan kencang berhembus dan menerbangkan layang-layang menjauh dari
gapaian tangannya. Bisa jadi angin tersebut membawa layang-layang tadi
tepat dihadapan pengejar lain yang pada saat bersamaan tidak sedang
mengejar layang-layang yang satu itu melainkan yang satunya lagi." Aku
mencoba menahan getir dihati. Tatapanku ku arahkan ke langit mencoba
menatap beberapa layangan yang benang pengendalinya saling bergesekan.
"Begitulah yang terjadi pada hidup orang-orang di dunia ini Alita.
Banyaknya pengorbanan, jerih payah dan derita yang mereka hadapi demi
menggapai harapan tak serta merta dapat mewujudkan segalanya. Ada
tangan-tangan tak terlihat yang berkuasa mengendalikan kehidupan." Aku
memalingkan wajahku agar Alita tak melihat bulir-bulir air mata yang
mendesak keluar mulai tak tertahankan lagi.
"Pergilah Alita.
Kumohon pergilah sekarang juga. Aku telah ikhlas. Tak baik sekiranya
jika kau tetap disini. Kau telah jadi pinangan lelaki lain. Takkan baik
pandangan orang terhadapmu melihat kita berduaan disini." Aku mencoba
memblok wajahku dengan lengan. Kubenamkan wajah diantara sela tekukan
kakiku.
"Maafkan Alita Bang Zein." Ia berjalan menjauh dari tempatku.
Cahaya-cahaya keemasan yang semula memenuhi langit kini telah banyak
tergantikan oleh ruang tak berwarna. Layang-layang yang semula memenuhi
ruang pandangan kini tinggal hitungan jari. Langkah mantap yang semula
ragu telah pula hilang dari pendengaran lenyap termakan jarak yang kian
bertambah. Aku tak sempat menangkap sosoknya ketika susut dari jangkauan
mata. Hanya untuk menatap siluet seorang wanita yang telah aku cintai
sejak rambutnya masih dikepang dua keberanianku tak bersisa. Aku terlalu
takut untuk menyaksikan punggungnya yang menjauh. Tak tau harus
bagaimana kumaknai kata maafnya. Kata maaf menyelamatkan egoku untuk
sejenak. Aku sedikit lega. Aku tak harus mendengar kata selamat tinggal
darinya. Dari seorang wanita yang sangat aku cintai sejak pertama
bertemu hingga saat ini. Pada pertemuan terakhir kami di batas senja.
0 komentar