Batas Senja

by - 01.41


"Tempat ini tak pernah sepi ya Bang kalau hari mulai senja." Gadis berwajah bundar itu mengambil posisi untuk duduk di sebelahku. Obrolan pembuka yang hangat meski kami pun sama-sama tau bahwa kalimat tersebut hanyalah basa-basi yang amat dipaksakan.

"Kau benar Alita. Terlebih ketika musim panas berangin seperti saat ini, langit senja tak hanya indah dengan semburat jingga mentari yang hendak kandas di garis cakrawala. Banyak sekali layang-layang bermacam warna dan bentuk saling berebutan ruang." Obrolan dari mulutku keluar dengan lancar meski tenggorokanku serasa tercekat.

"Kau tau kan aturan main disini Alita?" Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba melihat reaksi dari wajahnya.

"Tau Bang. Siapa yang lebih dulu memegang benang layangan yang telah putus dari sambungan benang si pengendali pertama, dia lah yang berhak memiliki layangan itu." Ia menundukkan wajahnya menghadap ke tanah sambil membuat coretan abstrak dengan ranting pohon yang entah sejak kapan ia genggam di tangannya.

"Dari aturan itu aku menjadi lebih lega untuk melepasmu Alita. Takdir. Ya, takdir. Aturan itu aku maknai sama dengan takdir. Setiap orang berhak mengejar layang-layang yang telah putus itu. Orang yang paling kuat dan cepat dalam berlari pastilah akan kita duga sebagai orang pertama yang akan mendapatkan layang-layang. Tapi ternyata tidak semudah itu Alita. Ketika tinggal sejengkal lagi ia merengkuh layang-layang tersebut bisa saja angin yang lumayan kencang berhembus dan menerbangkan layang-layang menjauh dari gapaian tangannya. Bisa jadi angin tersebut membawa layang-layang tadi tepat dihadapan pengejar lain yang pada saat bersamaan tidak sedang mengejar layang-layang yang satu itu melainkan yang satunya lagi." Aku mencoba menahan getir dihati. Tatapanku ku arahkan ke langit mencoba menatap beberapa layangan yang benang pengendalinya saling bergesekan.

"Begitulah yang terjadi pada hidup orang-orang di dunia ini Alita. Banyaknya pengorbanan, jerih payah dan derita yang mereka hadapi demi menggapai harapan tak serta merta dapat mewujudkan segalanya. Ada tangan-tangan tak terlihat yang berkuasa mengendalikan kehidupan." Aku memalingkan wajahku agar Alita tak melihat bulir-bulir air mata yang mendesak keluar mulai tak tertahankan lagi.

"Pergilah Alita. Kumohon pergilah sekarang juga. Aku telah ikhlas. Tak baik sekiranya jika kau tetap disini. Kau telah jadi pinangan lelaki lain. Takkan baik pandangan orang terhadapmu melihat kita berduaan disini." Aku mencoba memblok wajahku dengan lengan. Kubenamkan wajah diantara sela tekukan kakiku.

"Maafkan Alita Bang Zein." Ia berjalan menjauh dari tempatku.

Cahaya-cahaya keemasan yang semula memenuhi langit kini telah banyak tergantikan oleh ruang tak berwarna. Layang-layang yang semula memenuhi ruang pandangan kini tinggal hitungan jari. Langkah mantap yang semula ragu telah pula hilang dari pendengaran lenyap termakan jarak yang kian bertambah. Aku tak sempat menangkap sosoknya ketika susut dari jangkauan mata. Hanya untuk menatap siluet seorang wanita yang telah aku cintai sejak rambutnya masih dikepang dua keberanianku tak bersisa. Aku terlalu takut untuk menyaksikan punggungnya yang menjauh. Tak tau harus bagaimana kumaknai kata maafnya. Kata maaf menyelamatkan egoku untuk sejenak. Aku sedikit lega. Aku tak harus mendengar kata selamat tinggal darinya. Dari seorang wanita yang sangat aku cintai sejak pertama bertemu hingga saat ini. Pada pertemuan terakhir kami di batas senja.

You May Also Like

0 komentar