Di tanah rantau, ketika sakit, sah-sah saja seorang pejuang hidup
mandiri alias jomblo merasakan dilema dasar manusia. Sebuah kepercayaan
bahwa kita akan hidup bahagia hingga akhir hayat dengan pasangan idaman
merupakan salah satu bentuk delusi pada populasi normal. Pengharapan
yang patut dipelihara demi keberlangsungan peradaban.
Jomblo merupakan sampel dari populasi manusia dengan dikotomi dasar yang dinamai oleh Erich Fromm sebagai "dikotomi eksistensial". Sadar bahwa dirinya adalah individu yang terpisah, di saat yang bersamaan mereka percaya bahwa kebahagiaan mereka bergantung pada ikatan mereka dengan manusia lain.
Dalam kesakitan dan kesendirian pada jarak yang terbentang dipisahkan Laut Jawa, angin serasa menumpangi wewangian rumput sabana. Melengkapi halusinasi penciuman anak rantau yan selalu rindu pulang. Anak yang sesekali membenamkan wajah pada bantal yang akan basah ketika membunuh sepi.
Kini ia mulai sadar jika hal tersebut bukan lagi tentang kelekatan antara anak dan orang tua, namun lebih kepada beban kebebasan yang harus ia topang. Rasa aman yang tercipta ketika berada di zona nyaman mulai berkemas untuk pergi dari hidupnya. Memberikan langkah awal kecemasan dasar memasuki dunianya.
Pandangan hidupnya untuk terus menjadi pejuang hidup mandiri sesekali tumbang. Tergantikan dengan dorongan eros. Ego menimbang dengan pertimbangan moralitas, menghasilkan sintesis untuk membangun sebuah keluarga dalam partisipasi membangun peradaban.
Kadang terpikir olehnya mencari pendamping untuk mendapatkan kepastian jika kelak, ketika telah renta, akan ada suami atau anak-anak yang mengurus hidupnya yang tak lagi biasa. Namun ia bukanlah seorang wanita dengan tingkat egoentrisme tinggi yang tak percaya cinta.
Ia selalu percaya, jika nanti, akan ia temukan seseorang yang sudi berbagi cerita kebahagiaan dan waktu dengannya dikala senja. Menyaksikan mentari yang kandas pada cakrawala dengan semburat jingga yang terpantul syahdu dari ubin beranda rumah ke wajah teduh yang belum pernah bernama
Jomblo merupakan sampel dari populasi manusia dengan dikotomi dasar yang dinamai oleh Erich Fromm sebagai "dikotomi eksistensial". Sadar bahwa dirinya adalah individu yang terpisah, di saat yang bersamaan mereka percaya bahwa kebahagiaan mereka bergantung pada ikatan mereka dengan manusia lain.
Dalam kesakitan dan kesendirian pada jarak yang terbentang dipisahkan Laut Jawa, angin serasa menumpangi wewangian rumput sabana. Melengkapi halusinasi penciuman anak rantau yan selalu rindu pulang. Anak yang sesekali membenamkan wajah pada bantal yang akan basah ketika membunuh sepi.
Kini ia mulai sadar jika hal tersebut bukan lagi tentang kelekatan antara anak dan orang tua, namun lebih kepada beban kebebasan yang harus ia topang. Rasa aman yang tercipta ketika berada di zona nyaman mulai berkemas untuk pergi dari hidupnya. Memberikan langkah awal kecemasan dasar memasuki dunianya.
Pandangan hidupnya untuk terus menjadi pejuang hidup mandiri sesekali tumbang. Tergantikan dengan dorongan eros. Ego menimbang dengan pertimbangan moralitas, menghasilkan sintesis untuk membangun sebuah keluarga dalam partisipasi membangun peradaban.
Kadang terpikir olehnya mencari pendamping untuk mendapatkan kepastian jika kelak, ketika telah renta, akan ada suami atau anak-anak yang mengurus hidupnya yang tak lagi biasa. Namun ia bukanlah seorang wanita dengan tingkat egoentrisme tinggi yang tak percaya cinta.
Ia selalu percaya, jika nanti, akan ia temukan seseorang yang sudi berbagi cerita kebahagiaan dan waktu dengannya dikala senja. Menyaksikan mentari yang kandas pada cakrawala dengan semburat jingga yang terpantul syahdu dari ubin beranda rumah ke wajah teduh yang belum pernah bernama