Pages

  • Beranda
facebook instagram google+

my delusions

keep me alive

Di tanah rantau, ketika sakit, sah-sah saja seorang pejuang hidup mandiri alias jomblo merasakan dilema dasar manusia. Sebuah kepercayaan bahwa kita akan hidup bahagia hingga akhir hayat dengan pasangan idaman merupakan salah satu bentuk delusi pada populasi normal. Pengharapan yang patut dipelihara demi keberlangsungan peradaban.
       
Jomblo merupakan sampel dari populasi manusia dengan dikotomi dasar yang dinamai oleh Erich Fromm sebagai "dikotomi eksistensial". Sadar bahwa dirinya adalah individu yang terpisah, di saat yang bersamaan mereka percaya bahwa kebahagiaan mereka bergantung pada ikatan mereka dengan manusia lain.
         

Dalam kesakitan dan kesendirian pada jarak yang terbentang dipisahkan Laut Jawa, angin serasa menumpangi wewangian rumput sabana. Melengkapi halusinasi penciuman anak rantau yan selalu rindu pulang. Anak yang sesekali membenamkan wajah pada bantal yang akan basah ketika membunuh sepi.
          

Kini ia mulai sadar jika hal tersebut bukan lagi tentang kelekatan antara anak dan orang tua, namun lebih kepada beban kebebasan yang harus ia topang. Rasa aman yang tercipta ketika berada di zona nyaman mulai berkemas untuk pergi dari hidupnya. Memberikan langkah awal kecemasan dasar memasuki dunianya.
          

Pandangan hidupnya untuk terus menjadi pejuang hidup mandiri sesekali tumbang. Tergantikan dengan dorongan eros. Ego menimbang dengan pertimbangan moralitas, menghasilkan sintesis untuk membangun sebuah keluarga dalam partisipasi membangun peradaban.
        

Kadang terpikir olehnya mencari pendamping untuk mendapatkan kepastian jika kelak, ketika telah renta, akan ada suami atau anak-anak yang mengurus hidupnya yang tak lagi biasa. Namun ia bukanlah seorang wanita dengan tingkat egoentrisme tinggi yang tak percaya cinta.
        

 Ia selalu percaya, jika nanti, akan ia temukan seseorang yang sudi berbagi cerita kebahagiaan dan waktu dengannya dikala senja. Menyaksikan mentari yang kandas pada cakrawala dengan semburat jingga yang terpantul syahdu dari ubin beranda rumah ke wajah teduh yang belum pernah bernama
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

M-A-L-A-N-G. MALANG. Belum pernah ada kota yang kutemui memiliki kombinasi suasana hujan yang seromantis ini. Rinai yang jatuh nyaris tak bersuara. Hening. Syahdu, menyirami hati yang kemarau akan pengharapan. Menumbuhkan benih-benih asa yang nyaris mati. Formasi barisan yang rapat konstan dengan massa yang amat ringan. Menghujam kulit, meresap melalui celah pori, namun tak terasa sapuannya membelai. Diam-diam membasahi baju berbahan serat sintesis yang kukenakan. Dalam waktu sepersekian detik mampu membuatnya kuyup. Menjadikannya lekat, menyatu dengan kulit.

"Hei, tunggu Lin!" 

Lina berlari jauh di depanku. Susah payah kususul langkahnya yang besar-besar itu. Sesekali air hujan yang menggenang terciprat oleh hentakan sepatu mengenai ujung celana jeans yang kukenakan. Sempurna membuatku mendengus. Sebenarnya tak terlalu jauh jarak antara parkiran motor dengan gedung perkuliahan. Hanya 20 langkah kaki Lina dan 30 langkah untuk ukuran panjang kakiku. Sampai di teras gedung, Lina langsung mengibas-ngibaskan bajunya yang kadung basah. Tanpa mengindahkanku yang masih terengah-engah mendapati bibir teras, ia langsung mengeloyor masuk menuju pintu utama. Kutangkap sosoknya yang lamat-lamat lenyap diantara kerumunan mahasiswa, yang lalu-lalang memenuhi lobby gedung.
     
Sial. Persahabatan kami tak berlaku pada saat-saat seperti ini. Persis dosen mata kuliah hari ini yang sama sekali tak ingin mentolerir keterlambatan walau hanya satu detik. Kulirik angka pada jam tangan digitalku yang berembun dibalut air hujan. Kuusap terlebih dahulu. 14.55. Lima menit tersisa sebelum perkuliahan dimulai. Kuayunkan kaki berlari sekuat tenaga masuk ke dalam lobby.

"Ampun Tuhan," kutepok jidatku meski tak ada nyamuk hinggap di atasnya.

Di depan pintu lift puluhan anak sudah berbaris untuk mengantre, meski beberapa ada yang mencoba menyelinap diantara celah kerumunan. Ah, tak cukup waktu untuk mengantre. Kuputuskan naik ke lantai lima gedung dengan menaiki tangga. Satu, dua, tiga, hingga tiga puluh anak tangga mengantarkanku pada lantai dua. Nafasku masih teratur. Sembilan puluh anak tangga lagi batinku. Tujuh puluh hingga delapan puluh napasku mulai tersengal diburu waktu dan lelah. Asam laktat mulai memenuhi persendian. Jantung mulai berdegup bagai bom waktu yang hendak meledak. Darah mulai mengalir cepat ke segala penjuru tubuh. Daya hisap oksigenku mulai berkurang. Mulai sesak dadaku. Pening pula kepalaku.

"Hai Di," Ardan menyapaku dari arah berlawanan saat kami berpapasan.

Tak sempat kugubris sapaanya. Telah habis daya rasa-rasanya. Kini tinggal lima anak tangga yang tersisa dihadapanku. Dengan kekuatan yang tersisa kutapaki dengan perlahan. Kucoba untuk kembali menguasai diri yang sejak tadi mulai hilang keseimbangan. Berkunang-kunang dalam pandanganku. Kudapati sosok Lina di depan pintu. Ia tersenyum lebar. Mengejek.

"Itulah percaya kataku, janganlah kau berlama-lama di dalam kamar mandi," ia berucap sambil terkekeh.

"Dasar Batak sialan," gumamku.

Ia langsung menghampiriku yang berjalan dengan gontai, membantu mengarahkanku menuju ruang kelas. Beberapa detik setelah kami melewati daun pintu, dosen pengampu mata kuliah Psikiatri kelas ini menyusul masuk. Seorang wanita keturunan Arab. Rambutnya pendek, dipotong segi sebatas leher. Baju yang dipakainya hari itu amat kontras dengan cuaca di luar yang sedang hujan, namun sangat sesuai dengan warna kulit putih bersihnya. Rok rajutan setengah betis warna hijau dan baju dengan lengan sesiku warna putih tulang. Di belakangnya menyusul seorang pria dengan jaket kulit. Seusia dengan dosen kami perkiraanku.
     
Dari tempat dudukku kutatap rintik hujan yang kian menderas terlihat dari balik jendela kaca yang gordennya sengaja disibakkan. Dosen kami membuka perkuliahan yang setelahnya dilanjutkan dengan memperkenalkan lelaki tadi, yang kini kami ketahui namanya adalah Ridwan. Seorang Doktor lulusan luar negeri. Menyandang gelar Ph.D di belakang namanya. Hari ini beliau akan memberikan kuliah tentang neuroscience pada kami.
     
Aku mendengarkan dengan antusias setiap informasi yang disampaikan oleh Doktor tadi. Meski disaat yang bersamaan aku juga fokus menatap derai hujan yang turun dari langit bak mencipta tirai air yang memecah ruang partikel udara.

"Yang diturunkan adalah konstruksi mental, bukan perilakunya. Pengalaman diturunkan pada level epigenetik. Proses learning akan terkode pada DNA. Manusia mengalami predisposisi," Doktor tersebut berkata dengan mantap.

Semakin lama aku terhanyut pada pembahasan yang dilontarkan oleh Doktor tersebut. Sesekali kutatap wajah anak-anak lain yang mulai bersungut-sungut, karena khawatir jika ilmu di bidang psikologi yang sedang kami geluti saat ini takkan lagi dipakai dimasa mendatang. Tergantikan oleh ilmu tentang otak yang digadang-gadang saat ini, di luar negeri, sedang gencar dikembangkan.

"Kalau segala sesuatu bisa diubah dengan bantuan lingkungan, maka rumah sakit jiwa akan kosong penghuni. Orang dengan autisme takkan kita temui lagi. Begitulah besarnya peranan gen. Setiap gangguan mental pasti memiliki landasan biologis. Sesuatu yang tak mungkin ditolak. Seperti halnya kita tak bisa menolak untuk lahir dengan dua kaki dan dua tangan," Doktor tersebut kembali menegaskan argumennya dengan penuh keyakinan. "Setiap manusia memiliki reality testing. Namun seringkali mereka menghindari kenyataan ini. Saya tidak memaksakan bahwa apa yang saya katakan adalah sebuah kebenaran karena science itu bukan kebenaran, tetapi sebuah pembuktian. Salah satu syarat ilmu adalah, ia bisa disanggah." Ia mengakhiri kalimatnya untuk meredam perdebatan.

Aku tak langsung mengamini ataupun mengafirkan segala pendapat-pendapat dari perbincangan mereka. Toh dari kami semua tak ada yang sependapat dengan Darwin, tentang teorinya yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Imajiku lebih memilih melanglang buana menyusuri asal muasal pengkodean DNA yang kini kumiliki. Asal muasal, kenapa aku lebih suka mengikuti ajang menulis dan kenapa abangku lebih suka mengikuti lomba debat Bahasa Inggris. Menurut penjelasan Doktor Ridwan, anggap saja dahulu kala ada Homo Sapiens yang senang memanah dan ada pula yang senang bermain catur. Kebiasaan tersebut akhirnya terkode pada DNA dan diturunkan pada generasi penerusnya. Begitulah pada akhirnya akan terlahir para pemanah dan pencatur pada generasi setelahnya. Seiring berjalannya waktu, kemampuan manusia semakin variatif. Begitulah keajaiban evolusi manusia. Gen-gen bermutasi mengikuti perkembangan zaman untuk menolak punahnya sebuah peradaban.
     
Sejatinya, banyak sekali cara manusia di dunia ini dalam menyampaikan pesan. Ada yang dianugerahkan kemampuan visual. Mereka mampu bercerita melalui lukisan, foto, pahatan, dan karya seni lainnya. Ada pula yang diberikan kelebihan dalam kemampuan verbal. Dalam kelompok inipun terbagi lagi ke khas-an yang berbeda-beda. Ada yang menjadi seorang orator, yang dengan kata-katanya mampu menggerakkan beribu-ribu massa. Menjadi seorang pendongeng yang mengisahkan kisah-kisah ksatria negara dan agama pada tunas-tunas penerus peradaban. Beberapa memilih hijrah dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah lainnya tanpa meminta bayaran, berkhotbah menyiarkan pesan Tuhan. Dari sekian banyak cara tersebut, ada segelintir orang yang memilih menjadi penyair dan penulis. Menautkan sebuah pesan pada untaian kata indah nan serasi.
     
Awan kelabu telah berganti gelap. Perkuliahan telah ditutup dengan ucapan selamat sore. Pencurah ilmu yang semula ada dihadapan kami telah berlalu menghilang di balik pintu. Kelas kembali dikuasai kegaduhan. Masing-masing tenggelam dalam perbincangan. Lima anak dipojok kelas terdengar membicarakan tempat tujuan makan, malam ini. Tiga di samping kiriku heboh merencanakan agenda shopping bulanan. Dua lagi di samping kananku asyik menguliti kacang untuk menyumpal mulut. Seorang anak berlalu ke arah pintu sambil mengunyah sesuatu di dalam rongga mulutnya. Dihadapanku, sosok tambun Lina, meringis kelaparan. Tak ada yang masih memperbincangkan hal-hal luar biasa tadi. Mereka telah lupa pada pembahasan berat tiga menit yang lalu.

"Ah, hidup akan selalu kembali pada masa-masa yang biasa,"gumamku, setelah mendengus kecewa.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Tangannya kian beku merabai kaca jendela. Didengarnya suara hujan. Nafasnya dalam terhembus panjang. Berembun. Angin menjamahnya menjadi bulir-bulir air. Dua atau tiga detik membuatnya bergulir, merembes pada celah jemari. Meresap ke dalam pori.
          
"Ah, sudah tujuh bulan"

Tatapannya masih kosong, menerawang dari balik jendela. Seperti tujuh bulan yang lalu. Masih sama. Ada yang tak terisi dalam dirinya. Persis di dalam hati. Mendung di sudut matanya yang masih saja enggan untuk beranjak, harusnya berlalu dengan rasa kasih yang hampir habis menguap. Sebenarnya Ia hanya bimbang. Membenci ia tak mampu, memafkanpun ia belum rela.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Detik jam di pergelangan tangannya seirama satu banding dua dengan detak jantungnya. Ia yang sembari tadi diam bergeming, masih saja memandangi tetes air yang jatuh dari langit. Yang kasat mata dari fokus matanya. Dipeganginya cangkir kopi yang mulai dingin. Ia ragu-ragu. Tak terhitung sudah berapa kali cangkir terangkat lalu bertemu kembali dengan permukaan meja. Tak pernah sekalipun cairan pekat hitam itu mengalir disepanjang kerongkongannya. Bagaimana tidak, melewati celah bibirpun tak pernah. Rongga mulutnya ia biarkan kering semenjak tadi. Dari awal sejak ia meletakkan kedua belah bokongnya di kursi rotan kedai kopi pinggiran rel kereta api.
           
“Ah, tak terasa sudah tujuh bulan”

Masih tentang tujuh bulan. Tema yang sama sejak beberapa hari yang lalu. Setiap ia teringat tentang tujuh bulan, barulah detak jantungnya berpacu lebih cepat. Menjadi empat atau lima kali dalam satu detik jam tangannya. Setelahnya hanya debar yang kian menguat yang bisa ia rasa. Detik jam tak lagi terdengar. Matanya mulai memerah. Panas kepalanya. Darah di otaknya mendidih. Bulan ini 31 hari ia akan meratapi tentang tujuh bulan. Ia benci dengan dirinya sendiri, memikirkan jika harus ada 12 bulan yang ia ratapi dalam setahun dan tahun berikutnya akan berlipat ganda.
     
"Tuhan, aku ingin ikhlas"

Doanya tak pernah panjang. Cukup satu kalimat permintaan yang terlafalkan diantara kedua bibirnya. Ia percaya Tuhan pasti paham. Entah bersama dengan apa do'anya menuju langit ketujuh, karena sejak tujuh bulan yang lalu, Tuhan masih saja belum menjawab doanya. Doa satu-satunya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

about me

about me

Follow Me

  • google+
  • facebook
  • instagram

Categories

  • cerpen
  • Flight of Ideas
  • Mozaik

Blog Archive

  • ▼  2014 (11)
    • ►  September (1)
    • ►  November (6)
    • ▼  Desember (4)
      • Detik jam di pergelangan tangannya seirama sa...
      • Tangannya kian beku merabai kaca jendela. Dide...
      • Masa-masa yang Biasa
      • Dikotomi Eksistensial Jomblo
  • ►  2015 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Visitors

Followers

pengunjung online

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates