by - 17.19


Detik jam di pergelangan tangannya seirama satu banding dua dengan detak jantungnya. Ia yang sembari tadi diam bergeming, masih saja memandangi tetes air yang jatuh dari langit. Yang kasat mata dari fokus matanya. Dipeganginya cangkir kopi yang mulai dingin. Ia ragu-ragu. Tak terhitung sudah berapa kali cangkir terangkat lalu bertemu kembali dengan permukaan meja. Tak pernah sekalipun cairan pekat hitam itu mengalir disepanjang kerongkongannya. Bagaimana tidak, melewati celah bibirpun tak pernah. Rongga mulutnya ia biarkan kering semenjak tadi. Dari awal sejak ia meletakkan kedua belah bokongnya di kursi rotan kedai kopi pinggiran rel kereta api.
           
Ah, tak terasa sudah tujuh bulan”

Masih tentang tujuh bulan. Tema yang sama sejak beberapa hari yang lalu. Setiap ia teringat tentang tujuh bulan, barulah detak jantungnya berpacu lebih cepat. Menjadi empat atau lima kali dalam satu detik jam tangannya. Setelahnya hanya debar yang kian menguat yang bisa ia rasa. Detik jam tak lagi terdengar. Matanya mulai memerah. Panas kepalanya. Darah di otaknya mendidih. Bulan ini 31 hari ia akan meratapi tentang tujuh bulan. Ia benci dengan dirinya sendiri, memikirkan jika harus ada 12 bulan yang ia ratapi dalam setahun dan tahun berikutnya akan berlipat ganda.
     
"Tuhan, aku ingin ikhlas"

Doanya tak pernah panjang. Cukup satu kalimat permintaan yang terlafalkan diantara kedua bibirnya. Ia percaya Tuhan pasti paham. Entah bersama dengan apa do'anya menuju langit ketujuh, karena sejak tujuh bulan yang lalu, Tuhan masih saja belum menjawab doanya. Doa satu-satunya.

You May Also Like

0 komentar