Detik jam di pergelangan tangannya seirama satu
banding dua dengan detak jantungnya. Ia
yang sembari tadi diam
bergeming,
masih saja memandangi
tetes air yang jatuh dari langit. Yang
kasat mata dari fokus matanya. Dipeganginya
cangkir kopi yang mulai dingin. Ia
ragu-ragu. Tak terhitung sudah berapa kali cangkir
terangkat lalu bertemu kembali dengan permukaan meja. Tak pernah sekalipun cairan pekat hitam itu mengalir
disepanjang kerongkongannya. Bagaimana tidak, melewati celah bibirpun tak
pernah. Rongga mulutnya ia biarkan kering semenjak tadi. Dari awal sejak ia
meletakkan kedua belah bokongnya di kursi rotan kedai kopi pinggiran rel kereta
api.
“Ah, tak terasa sudah tujuh bulan”
Masih tentang tujuh bulan. Tema yang sama sejak beberapa hari
yang lalu.
Setiap ia
teringat tentang tujuh bulan,
barulah detak jantungnya berpacu lebih cepat. Menjadi empat atau lima kali dalam
satu detik jam tangannya. Setelahnya
hanya debar yang kian menguat yang bisa ia rasa. Detik jam tak lagi terdengar. Matanya mulai memerah. Panas kepalanya. Darah di otaknya mendidih. Bulan ini 31 hari ia akan meratapi
tentang tujuh bulan. Ia
benci dengan dirinya sendiri, memikirkan
jika harus ada 12 bulan yang ia ratapi dalam setahun dan tahun berikutnya akan
berlipat ganda.
"Tuhan, aku ingin ikhlas"
Doanya tak pernah
panjang. Cukup satu kalimat permintaan yang terlafalkan
diantara kedua bibirnya. Ia percaya Tuhan pasti paham. Entah bersama dengan
apa do'anya menuju langit ketujuh, karena sejak tujuh bulan yang lalu, Tuhan
masih saja belum menjawab doanya. Doa satu-satunya.
0 komentar