Masa-masa yang Biasa
M-A-L-A-N-G. MALANG. Belum pernah ada kota yang kutemui memiliki kombinasi suasana hujan yang seromantis ini. Rinai yang jatuh nyaris tak bersuara. Hening. Syahdu, menyirami hati yang kemarau akan pengharapan. Menumbuhkan benih-benih asa yang nyaris mati. Formasi barisan yang rapat konstan dengan massa yang amat ringan. Menghujam kulit, meresap melalui celah pori, namun tak terasa sapuannya membelai. Diam-diam membasahi baju berbahan serat sintesis yang kukenakan. Dalam waktu sepersekian detik mampu membuatnya kuyup. Menjadikannya lekat, menyatu dengan kulit.
"Hei,
tunggu Lin!"
Lina
berlari jauh di depanku. Susah payah kususul langkahnya yang besar-besar itu.
Sesekali air hujan yang menggenang terciprat oleh hentakan sepatu mengenai
ujung celana jeans yang kukenakan. Sempurna membuatku mendengus. Sebenarnya tak
terlalu jauh jarak antara parkiran motor dengan gedung perkuliahan. Hanya 20
langkah kaki Lina dan 30 langkah untuk ukuran panjang kakiku. Sampai di teras
gedung, Lina langsung mengibas-ngibaskan bajunya yang kadung basah. Tanpa
mengindahkanku yang masih terengah-engah mendapati bibir teras, ia langsung
mengeloyor masuk menuju pintu utama. Kutangkap sosoknya yang lamat-lamat lenyap
diantara kerumunan mahasiswa, yang lalu-lalang memenuhi lobby gedung.
Sial. Persahabatan kami tak berlaku pada saat-saat seperti ini. Persis dosen mata kuliah hari ini yang sama sekali tak ingin mentolerir keterlambatan walau hanya satu detik. Kulirik angka pada jam tangan digitalku yang berembun dibalut air hujan. Kuusap terlebih dahulu. 14.55. Lima menit tersisa sebelum perkuliahan dimulai. Kuayunkan kaki berlari sekuat tenaga masuk ke dalam lobby.
"Ampun
Tuhan," kutepok jidatku meski tak ada nyamuk hinggap di atasnya.
Di
depan pintu lift puluhan anak sudah berbaris untuk mengantre, meski beberapa
ada yang mencoba menyelinap diantara celah kerumunan. Ah, tak cukup waktu untuk
mengantre. Kuputuskan naik ke lantai lima gedung dengan menaiki tangga. Satu,
dua, tiga, hingga tiga puluh anak tangga mengantarkanku pada lantai dua. Nafasku
masih teratur. Sembilan puluh anak tangga lagi batinku. Tujuh puluh hingga delapan
puluh napasku mulai tersengal diburu waktu dan lelah. Asam laktat mulai
memenuhi persendian. Jantung mulai berdegup bagai bom waktu yang hendak
meledak. Darah mulai mengalir cepat ke segala penjuru tubuh. Daya hisap
oksigenku mulai berkurang. Mulai sesak dadaku. Pening pula kepalaku.
"Hai
Di," Ardan menyapaku dari arah berlawanan saat kami berpapasan.
Tak
sempat kugubris sapaanya. Telah habis daya rasa-rasanya. Kini tinggal lima anak
tangga yang tersisa dihadapanku. Dengan kekuatan yang tersisa kutapaki dengan
perlahan. Kucoba untuk kembali menguasai diri yang sejak tadi mulai hilang keseimbangan. Berkunang-kunang
dalam pandanganku. Kudapati sosok Lina di depan pintu. Ia tersenyum lebar. Mengejek.
"Itulah
percaya kataku, janganlah kau berlama-lama di dalam kamar mandi," ia
berucap sambil terkekeh.
"Dasar
Batak sialan," gumamku.
Ia
langsung menghampiriku yang berjalan dengan gontai, membantu mengarahkanku
menuju ruang kelas. Beberapa detik setelah kami melewati daun pintu, dosen
pengampu mata kuliah Psikiatri kelas ini menyusul masuk. Seorang wanita
keturunan Arab. Rambutnya pendek, dipotong segi sebatas leher. Baju yang
dipakainya hari itu amat kontras dengan cuaca di luar yang sedang hujan, namun
sangat sesuai dengan warna kulit putih bersihnya. Rok rajutan setengah betis
warna hijau dan baju dengan lengan sesiku warna putih tulang. Di belakangnya
menyusul seorang pria dengan jaket kulit. Seusia dengan dosen kami perkiraanku.
Dari tempat dudukku kutatap rintik hujan yang kian menderas terlihat dari balik jendela kaca yang gordennya sengaja disibakkan. Dosen kami membuka perkuliahan yang setelahnya dilanjutkan dengan memperkenalkan lelaki tadi, yang kini kami ketahui namanya adalah Ridwan. Seorang Doktor lulusan luar negeri. Menyandang gelar Ph.D di belakang namanya. Hari ini beliau akan memberikan kuliah tentang neuroscience pada kami.
Aku mendengarkan dengan antusias setiap informasi yang disampaikan oleh Doktor tadi. Meski disaat yang bersamaan aku juga fokus menatap derai hujan yang turun dari langit bak mencipta tirai air yang memecah ruang partikel udara.
"Yang
diturunkan adalah konstruksi mental, bukan perilakunya. Pengalaman diturunkan
pada level epigenetik. Proses learning akan terkode pada DNA. Manusia mengalami
predisposisi," Doktor tersebut berkata dengan mantap.
Semakin
lama aku terhanyut pada pembahasan yang dilontarkan oleh Doktor tersebut.
Sesekali kutatap wajah anak-anak lain yang mulai bersungut-sungut, karena
khawatir jika ilmu di bidang psikologi yang sedang kami geluti saat ini takkan
lagi dipakai dimasa mendatang. Tergantikan oleh ilmu tentang otak yang
digadang-gadang saat ini, di luar negeri, sedang gencar dikembangkan.
"Kalau
segala sesuatu bisa diubah dengan bantuan lingkungan, maka rumah sakit jiwa
akan kosong penghuni. Orang dengan autisme takkan kita temui lagi. Begitulah
besarnya peranan gen. Setiap gangguan mental pasti memiliki landasan biologis.
Sesuatu yang tak mungkin ditolak. Seperti halnya kita tak bisa menolak untuk
lahir dengan dua kaki dan dua tangan," Doktor tersebut kembali menegaskan
argumennya dengan penuh keyakinan. "Setiap manusia memiliki reality
testing. Namun seringkali mereka menghindari kenyataan ini. Saya tidak
memaksakan bahwa apa yang saya katakan adalah sebuah kebenaran karena science
itu bukan kebenaran, tetapi sebuah pembuktian. Salah satu syarat ilmu adalah,
ia bisa disanggah." Ia mengakhiri kalimatnya untuk meredam perdebatan.
Aku
tak langsung mengamini ataupun mengafirkan segala pendapat-pendapat dari
perbincangan mereka. Toh dari kami semua tak ada yang sependapat dengan Darwin, tentang teorinya yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Imajiku lebih
memilih melanglang buana menyusuri asal muasal pengkodean DNA yang kini
kumiliki. Asal muasal, kenapa aku lebih suka mengikuti ajang menulis dan kenapa
abangku lebih suka mengikuti lomba debat Bahasa Inggris. Menurut penjelasan
Doktor Ridwan, anggap saja dahulu kala ada Homo Sapiens yang senang memanah dan
ada pula yang senang bermain catur. Kebiasaan tersebut akhirnya terkode pada
DNA dan diturunkan pada generasi penerusnya. Begitulah pada akhirnya akan
terlahir para pemanah dan pencatur pada generasi setelahnya. Seiring
berjalannya waktu, kemampuan manusia semakin variatif. Begitulah keajaiban
evolusi manusia. Gen-gen bermutasi mengikuti perkembangan zaman untuk menolak
punahnya sebuah peradaban.
Sejatinya, banyak sekali cara manusia di dunia ini dalam menyampaikan pesan. Ada yang dianugerahkan kemampuan visual. Mereka mampu bercerita melalui lukisan, foto, pahatan, dan karya seni lainnya. Ada pula yang diberikan kelebihan dalam kemampuan verbal. Dalam kelompok inipun terbagi lagi ke khas-an yang berbeda-beda. Ada yang menjadi seorang orator, yang dengan kata-katanya mampu menggerakkan beribu-ribu massa. Menjadi seorang pendongeng yang mengisahkan kisah-kisah ksatria negara dan agama pada tunas-tunas penerus peradaban. Beberapa memilih hijrah dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah lainnya tanpa meminta bayaran, berkhotbah menyiarkan pesan Tuhan. Dari sekian banyak cara tersebut, ada segelintir orang yang memilih menjadi penyair dan penulis. Menautkan sebuah pesan pada untaian kata indah nan serasi.
Awan kelabu telah berganti gelap. Perkuliahan telah ditutup dengan ucapan selamat sore. Pencurah ilmu yang semula ada dihadapan kami telah berlalu menghilang di balik pintu. Kelas kembali dikuasai kegaduhan. Masing-masing tenggelam dalam perbincangan. Lima anak dipojok kelas terdengar membicarakan tempat tujuan makan, malam ini. Tiga di samping kiriku heboh merencanakan agenda shopping bulanan. Dua lagi di samping kananku asyik menguliti kacang untuk menyumpal mulut. Seorang anak berlalu ke arah pintu sambil mengunyah sesuatu di dalam rongga mulutnya. Dihadapanku, sosok tambun Lina, meringis kelaparan. Tak ada yang masih memperbincangkan hal-hal luar biasa tadi. Mereka telah lupa pada pembahasan berat tiga menit yang lalu.
"Ah, hidup akan selalu kembali pada masa-masa yang biasa,"gumamku, setelah mendengus kecewa.
0 komentar