Pages

  • Beranda
facebook instagram google+

my delusions

keep me alive

Di tanah rantau, ketika sakit, sah-sah saja seorang pejuang hidup mandiri alias jomblo merasakan dilema dasar manusia. Sebuah kepercayaan bahwa kita akan hidup bahagia hingga akhir hayat dengan pasangan idaman merupakan salah satu bentuk delusi pada populasi normal. Pengharapan yang patut dipelihara demi keberlangsungan peradaban.
       
Jomblo merupakan sampel dari populasi manusia dengan dikotomi dasar yang dinamai oleh Erich Fromm sebagai "dikotomi eksistensial". Sadar bahwa dirinya adalah individu yang terpisah, di saat yang bersamaan mereka percaya bahwa kebahagiaan mereka bergantung pada ikatan mereka dengan manusia lain.
         

Dalam kesakitan dan kesendirian pada jarak yang terbentang dipisahkan Laut Jawa, angin serasa menumpangi wewangian rumput sabana. Melengkapi halusinasi penciuman anak rantau yan selalu rindu pulang. Anak yang sesekali membenamkan wajah pada bantal yang akan basah ketika membunuh sepi.
          

Kini ia mulai sadar jika hal tersebut bukan lagi tentang kelekatan antara anak dan orang tua, namun lebih kepada beban kebebasan yang harus ia topang. Rasa aman yang tercipta ketika berada di zona nyaman mulai berkemas untuk pergi dari hidupnya. Memberikan langkah awal kecemasan dasar memasuki dunianya.
          

Pandangan hidupnya untuk terus menjadi pejuang hidup mandiri sesekali tumbang. Tergantikan dengan dorongan eros. Ego menimbang dengan pertimbangan moralitas, menghasilkan sintesis untuk membangun sebuah keluarga dalam partisipasi membangun peradaban.
        

Kadang terpikir olehnya mencari pendamping untuk mendapatkan kepastian jika kelak, ketika telah renta, akan ada suami atau anak-anak yang mengurus hidupnya yang tak lagi biasa. Namun ia bukanlah seorang wanita dengan tingkat egoentrisme tinggi yang tak percaya cinta.
        

 Ia selalu percaya, jika nanti, akan ia temukan seseorang yang sudi berbagi cerita kebahagiaan dan waktu dengannya dikala senja. Menyaksikan mentari yang kandas pada cakrawala dengan semburat jingga yang terpantul syahdu dari ubin beranda rumah ke wajah teduh yang belum pernah bernama
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

M-A-L-A-N-G. MALANG. Belum pernah ada kota yang kutemui memiliki kombinasi suasana hujan yang seromantis ini. Rinai yang jatuh nyaris tak bersuara. Hening. Syahdu, menyirami hati yang kemarau akan pengharapan. Menumbuhkan benih-benih asa yang nyaris mati. Formasi barisan yang rapat konstan dengan massa yang amat ringan. Menghujam kulit, meresap melalui celah pori, namun tak terasa sapuannya membelai. Diam-diam membasahi baju berbahan serat sintesis yang kukenakan. Dalam waktu sepersekian detik mampu membuatnya kuyup. Menjadikannya lekat, menyatu dengan kulit.

"Hei, tunggu Lin!" 

Lina berlari jauh di depanku. Susah payah kususul langkahnya yang besar-besar itu. Sesekali air hujan yang menggenang terciprat oleh hentakan sepatu mengenai ujung celana jeans yang kukenakan. Sempurna membuatku mendengus. Sebenarnya tak terlalu jauh jarak antara parkiran motor dengan gedung perkuliahan. Hanya 20 langkah kaki Lina dan 30 langkah untuk ukuran panjang kakiku. Sampai di teras gedung, Lina langsung mengibas-ngibaskan bajunya yang kadung basah. Tanpa mengindahkanku yang masih terengah-engah mendapati bibir teras, ia langsung mengeloyor masuk menuju pintu utama. Kutangkap sosoknya yang lamat-lamat lenyap diantara kerumunan mahasiswa, yang lalu-lalang memenuhi lobby gedung.
     
Sial. Persahabatan kami tak berlaku pada saat-saat seperti ini. Persis dosen mata kuliah hari ini yang sama sekali tak ingin mentolerir keterlambatan walau hanya satu detik. Kulirik angka pada jam tangan digitalku yang berembun dibalut air hujan. Kuusap terlebih dahulu. 14.55. Lima menit tersisa sebelum perkuliahan dimulai. Kuayunkan kaki berlari sekuat tenaga masuk ke dalam lobby.

"Ampun Tuhan," kutepok jidatku meski tak ada nyamuk hinggap di atasnya.

Di depan pintu lift puluhan anak sudah berbaris untuk mengantre, meski beberapa ada yang mencoba menyelinap diantara celah kerumunan. Ah, tak cukup waktu untuk mengantre. Kuputuskan naik ke lantai lima gedung dengan menaiki tangga. Satu, dua, tiga, hingga tiga puluh anak tangga mengantarkanku pada lantai dua. Nafasku masih teratur. Sembilan puluh anak tangga lagi batinku. Tujuh puluh hingga delapan puluh napasku mulai tersengal diburu waktu dan lelah. Asam laktat mulai memenuhi persendian. Jantung mulai berdegup bagai bom waktu yang hendak meledak. Darah mulai mengalir cepat ke segala penjuru tubuh. Daya hisap oksigenku mulai berkurang. Mulai sesak dadaku. Pening pula kepalaku.

"Hai Di," Ardan menyapaku dari arah berlawanan saat kami berpapasan.

Tak sempat kugubris sapaanya. Telah habis daya rasa-rasanya. Kini tinggal lima anak tangga yang tersisa dihadapanku. Dengan kekuatan yang tersisa kutapaki dengan perlahan. Kucoba untuk kembali menguasai diri yang sejak tadi mulai hilang keseimbangan. Berkunang-kunang dalam pandanganku. Kudapati sosok Lina di depan pintu. Ia tersenyum lebar. Mengejek.

"Itulah percaya kataku, janganlah kau berlama-lama di dalam kamar mandi," ia berucap sambil terkekeh.

"Dasar Batak sialan," gumamku.

Ia langsung menghampiriku yang berjalan dengan gontai, membantu mengarahkanku menuju ruang kelas. Beberapa detik setelah kami melewati daun pintu, dosen pengampu mata kuliah Psikiatri kelas ini menyusul masuk. Seorang wanita keturunan Arab. Rambutnya pendek, dipotong segi sebatas leher. Baju yang dipakainya hari itu amat kontras dengan cuaca di luar yang sedang hujan, namun sangat sesuai dengan warna kulit putih bersihnya. Rok rajutan setengah betis warna hijau dan baju dengan lengan sesiku warna putih tulang. Di belakangnya menyusul seorang pria dengan jaket kulit. Seusia dengan dosen kami perkiraanku.
     
Dari tempat dudukku kutatap rintik hujan yang kian menderas terlihat dari balik jendela kaca yang gordennya sengaja disibakkan. Dosen kami membuka perkuliahan yang setelahnya dilanjutkan dengan memperkenalkan lelaki tadi, yang kini kami ketahui namanya adalah Ridwan. Seorang Doktor lulusan luar negeri. Menyandang gelar Ph.D di belakang namanya. Hari ini beliau akan memberikan kuliah tentang neuroscience pada kami.
     
Aku mendengarkan dengan antusias setiap informasi yang disampaikan oleh Doktor tadi. Meski disaat yang bersamaan aku juga fokus menatap derai hujan yang turun dari langit bak mencipta tirai air yang memecah ruang partikel udara.

"Yang diturunkan adalah konstruksi mental, bukan perilakunya. Pengalaman diturunkan pada level epigenetik. Proses learning akan terkode pada DNA. Manusia mengalami predisposisi," Doktor tersebut berkata dengan mantap.

Semakin lama aku terhanyut pada pembahasan yang dilontarkan oleh Doktor tersebut. Sesekali kutatap wajah anak-anak lain yang mulai bersungut-sungut, karena khawatir jika ilmu di bidang psikologi yang sedang kami geluti saat ini takkan lagi dipakai dimasa mendatang. Tergantikan oleh ilmu tentang otak yang digadang-gadang saat ini, di luar negeri, sedang gencar dikembangkan.

"Kalau segala sesuatu bisa diubah dengan bantuan lingkungan, maka rumah sakit jiwa akan kosong penghuni. Orang dengan autisme takkan kita temui lagi. Begitulah besarnya peranan gen. Setiap gangguan mental pasti memiliki landasan biologis. Sesuatu yang tak mungkin ditolak. Seperti halnya kita tak bisa menolak untuk lahir dengan dua kaki dan dua tangan," Doktor tersebut kembali menegaskan argumennya dengan penuh keyakinan. "Setiap manusia memiliki reality testing. Namun seringkali mereka menghindari kenyataan ini. Saya tidak memaksakan bahwa apa yang saya katakan adalah sebuah kebenaran karena science itu bukan kebenaran, tetapi sebuah pembuktian. Salah satu syarat ilmu adalah, ia bisa disanggah." Ia mengakhiri kalimatnya untuk meredam perdebatan.

Aku tak langsung mengamini ataupun mengafirkan segala pendapat-pendapat dari perbincangan mereka. Toh dari kami semua tak ada yang sependapat dengan Darwin, tentang teorinya yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Imajiku lebih memilih melanglang buana menyusuri asal muasal pengkodean DNA yang kini kumiliki. Asal muasal, kenapa aku lebih suka mengikuti ajang menulis dan kenapa abangku lebih suka mengikuti lomba debat Bahasa Inggris. Menurut penjelasan Doktor Ridwan, anggap saja dahulu kala ada Homo Sapiens yang senang memanah dan ada pula yang senang bermain catur. Kebiasaan tersebut akhirnya terkode pada DNA dan diturunkan pada generasi penerusnya. Begitulah pada akhirnya akan terlahir para pemanah dan pencatur pada generasi setelahnya. Seiring berjalannya waktu, kemampuan manusia semakin variatif. Begitulah keajaiban evolusi manusia. Gen-gen bermutasi mengikuti perkembangan zaman untuk menolak punahnya sebuah peradaban.
     
Sejatinya, banyak sekali cara manusia di dunia ini dalam menyampaikan pesan. Ada yang dianugerahkan kemampuan visual. Mereka mampu bercerita melalui lukisan, foto, pahatan, dan karya seni lainnya. Ada pula yang diberikan kelebihan dalam kemampuan verbal. Dalam kelompok inipun terbagi lagi ke khas-an yang berbeda-beda. Ada yang menjadi seorang orator, yang dengan kata-katanya mampu menggerakkan beribu-ribu massa. Menjadi seorang pendongeng yang mengisahkan kisah-kisah ksatria negara dan agama pada tunas-tunas penerus peradaban. Beberapa memilih hijrah dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah lainnya tanpa meminta bayaran, berkhotbah menyiarkan pesan Tuhan. Dari sekian banyak cara tersebut, ada segelintir orang yang memilih menjadi penyair dan penulis. Menautkan sebuah pesan pada untaian kata indah nan serasi.
     
Awan kelabu telah berganti gelap. Perkuliahan telah ditutup dengan ucapan selamat sore. Pencurah ilmu yang semula ada dihadapan kami telah berlalu menghilang di balik pintu. Kelas kembali dikuasai kegaduhan. Masing-masing tenggelam dalam perbincangan. Lima anak dipojok kelas terdengar membicarakan tempat tujuan makan, malam ini. Tiga di samping kiriku heboh merencanakan agenda shopping bulanan. Dua lagi di samping kananku asyik menguliti kacang untuk menyumpal mulut. Seorang anak berlalu ke arah pintu sambil mengunyah sesuatu di dalam rongga mulutnya. Dihadapanku, sosok tambun Lina, meringis kelaparan. Tak ada yang masih memperbincangkan hal-hal luar biasa tadi. Mereka telah lupa pada pembahasan berat tiga menit yang lalu.

"Ah, hidup akan selalu kembali pada masa-masa yang biasa,"gumamku, setelah mendengus kecewa.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Tangannya kian beku merabai kaca jendela. Didengarnya suara hujan. Nafasnya dalam terhembus panjang. Berembun. Angin menjamahnya menjadi bulir-bulir air. Dua atau tiga detik membuatnya bergulir, merembes pada celah jemari. Meresap ke dalam pori.
          
"Ah, sudah tujuh bulan"

Tatapannya masih kosong, menerawang dari balik jendela. Seperti tujuh bulan yang lalu. Masih sama. Ada yang tak terisi dalam dirinya. Persis di dalam hati. Mendung di sudut matanya yang masih saja enggan untuk beranjak, harusnya berlalu dengan rasa kasih yang hampir habis menguap. Sebenarnya Ia hanya bimbang. Membenci ia tak mampu, memafkanpun ia belum rela.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Detik jam di pergelangan tangannya seirama satu banding dua dengan detak jantungnya. Ia yang sembari tadi diam bergeming, masih saja memandangi tetes air yang jatuh dari langit. Yang kasat mata dari fokus matanya. Dipeganginya cangkir kopi yang mulai dingin. Ia ragu-ragu. Tak terhitung sudah berapa kali cangkir terangkat lalu bertemu kembali dengan permukaan meja. Tak pernah sekalipun cairan pekat hitam itu mengalir disepanjang kerongkongannya. Bagaimana tidak, melewati celah bibirpun tak pernah. Rongga mulutnya ia biarkan kering semenjak tadi. Dari awal sejak ia meletakkan kedua belah bokongnya di kursi rotan kedai kopi pinggiran rel kereta api.
           
“Ah, tak terasa sudah tujuh bulan”

Masih tentang tujuh bulan. Tema yang sama sejak beberapa hari yang lalu. Setiap ia teringat tentang tujuh bulan, barulah detak jantungnya berpacu lebih cepat. Menjadi empat atau lima kali dalam satu detik jam tangannya. Setelahnya hanya debar yang kian menguat yang bisa ia rasa. Detik jam tak lagi terdengar. Matanya mulai memerah. Panas kepalanya. Darah di otaknya mendidih. Bulan ini 31 hari ia akan meratapi tentang tujuh bulan. Ia benci dengan dirinya sendiri, memikirkan jika harus ada 12 bulan yang ia ratapi dalam setahun dan tahun berikutnya akan berlipat ganda.
     
"Tuhan, aku ingin ikhlas"

Doanya tak pernah panjang. Cukup satu kalimat permintaan yang terlafalkan diantara kedua bibirnya. Ia percaya Tuhan pasti paham. Entah bersama dengan apa do'anya menuju langit ketujuh, karena sejak tujuh bulan yang lalu, Tuhan masih saja belum menjawab doanya. Doa satu-satunya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Beginilah kiranya jika memelihara hidup dalam kesendirian tanpa beroleh seorang kekasih. Terjaga tengah malam hilang akal hendak mengenangkan perihal apa. Mencari-cari perkara yang bisa untuk dikenangkan. Mengisi hati yang mendadak senyap dihantam oleh kelengangan malam. Apabila jiwanya ialah pujangga maka akan tercipta sajak-sajak bagus dan serasi. Tetapi akan jadilah ia sebagai sajak tak bertuan. Indah, namun hilang maknanya lantaran tak menaruh tujuan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Tiadalah kuasaku dalam menyinggung perkara cinta yang telah lewat. Bahkan jika dalam hal menagih janji yang kau lisankan dengan hiasan tutur yang melenakan. Salah pula jika saya memegang paham "Apalah faedahnya mengikrarkan janji suci dalam kesakralan jika nantinya ikatan yang tersimpul kan terberai jua karena rapuh ucapmu"

Cinta hanyalah masalah ketika Tuhan mengarahkan hati pada suatu hati. Ketika kita dihadapkan pada pilihan yang sempurna, tetap saja cinta takkan menjadi ketika Tuhan tidak sedang mengarahkan. Hakikatnya cinta berhak tumbuh dimana saja. Besarlah malu saya meminta-minta kecintaanmu terhadapku yang telah tiada itu.

Nyatanya telah berapa kali saya menyatakan ikhlas, meski sebenarnya tidak pernah saya rasakan rela melihat engkau bercinta-cintaan dengan wanita selain daku. Hakikatnya pula begitulah cara manusia berkilah dengan sakit atas penanggungan rasa cintanya yang tak sampai pada maksud hati.

Janganlah berfikir saya tak pernah mencoba jalan baru. Sayapun ada pula berandai-berandai hidup bahagia dengan orang lain selain engkau. Tidak pula saya ingin menjadi orang yang merugi dimasa depan. Bertambah pula paham saya bahwa orang yang terjebak pada masa lalu adalah orang yang tak berbelas kasih dengan orang yang akan hidup dalam masanya yang akan datang.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Jika kau mengenal cinta, disanalah akan kau temukan Tuhan. Seseorang yg akan kau anggap lancang dalam menghadirkan atau mengangkatnya hingga tercerabut untuk pemaknaan cinta dalam pandangan sempitmu. Keputusan akal dangkalmu dalam mengutuki rasa sakit yang kau sendiripun takkan pernah mengerti bagaimana terciptanya. Dalam kesadaran bahwa bukan kau yang bertanggungjawab untuk menangkalnya. Jika harus kau amin-i ada kuasa yang tak bisa kau tolak, dengan setiap caranya itulah Tuhan mengajarimu memahami cinta.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jika mencintaimu adalah bentuk kegilaan, maka sisa hidupku adalah ketidakwarasan. Dan aku tak ingin menjadi normal untuk tahu segala ke-morbid-an ini.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Semasa patah hati, sakit hati atau remuk hatinya adalah bahan bakar terbesar seorang pujangga menciptakan sajak-sajak indah nan bagus dan serasi. Begitu pula halnya ketika sedang jatuh cinta. Sesuatu yang berkaitan dengan rasa cinta dalam hati, entah itu yang membuat kadar endorfin meningkat dalam tubuh atau malah sebaliknya, mampu membuat imaji seseorang luntang-lantung tanpa batas. Lantas, jika hilang dari ucapnya atau gores penanya akan kata-kata yang indah itu, maka patutlah muncul kecurigaan jika cinta itu telah hilang dari hatinya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

"Tempat ini tak pernah sepi ya Bang kalau hari mulai senja." Gadis berwajah bundar itu mengambil posisi untuk duduk di sebelahku. Obrolan pembuka yang hangat meski kami pun sama-sama tau bahwa kalimat tersebut hanyalah basa-basi yang amat dipaksakan.

"Kau benar Alita. Terlebih ketika musim panas berangin seperti saat ini, langit senja tak hanya indah dengan semburat jingga mentari yang hendak kandas di garis cakrawala. Banyak sekali layang-layang bermacam warna dan bentuk saling berebutan ruang." Obrolan dari mulutku keluar dengan lancar meski tenggorokanku serasa tercekat.

"Kau tau kan aturan main disini Alita?" Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba melihat reaksi dari wajahnya.

"Tau Bang. Siapa yang lebih dulu memegang benang layangan yang telah putus dari sambungan benang si pengendali pertama, dia lah yang berhak memiliki layangan itu." Ia menundukkan wajahnya menghadap ke tanah sambil membuat coretan abstrak dengan ranting pohon yang entah sejak kapan ia genggam di tangannya.

"Dari aturan itu aku menjadi lebih lega untuk melepasmu Alita. Takdir. Ya, takdir. Aturan itu aku maknai sama dengan takdir. Setiap orang berhak mengejar layang-layang yang telah putus itu. Orang yang paling kuat dan cepat dalam berlari pastilah akan kita duga sebagai orang pertama yang akan mendapatkan layang-layang. Tapi ternyata tidak semudah itu Alita. Ketika tinggal sejengkal lagi ia merengkuh layang-layang tersebut bisa saja angin yang lumayan kencang berhembus dan menerbangkan layang-layang menjauh dari gapaian tangannya. Bisa jadi angin tersebut membawa layang-layang tadi tepat dihadapan pengejar lain yang pada saat bersamaan tidak sedang mengejar layang-layang yang satu itu melainkan yang satunya lagi." Aku mencoba menahan getir dihati. Tatapanku ku arahkan ke langit mencoba menatap beberapa layangan yang benang pengendalinya saling bergesekan.

"Begitulah yang terjadi pada hidup orang-orang di dunia ini Alita. Banyaknya pengorbanan, jerih payah dan derita yang mereka hadapi demi menggapai harapan tak serta merta dapat mewujudkan segalanya. Ada tangan-tangan tak terlihat yang berkuasa mengendalikan kehidupan." Aku memalingkan wajahku agar Alita tak melihat bulir-bulir air mata yang mendesak keluar mulai tak tertahankan lagi.

"Pergilah Alita. Kumohon pergilah sekarang juga. Aku telah ikhlas. Tak baik sekiranya jika kau tetap disini. Kau telah jadi pinangan lelaki lain. Takkan baik pandangan orang terhadapmu melihat kita berduaan disini." Aku mencoba memblok wajahku dengan lengan. Kubenamkan wajah diantara sela tekukan kakiku.

"Maafkan Alita Bang Zein." Ia berjalan menjauh dari tempatku.

Cahaya-cahaya keemasan yang semula memenuhi langit kini telah banyak tergantikan oleh ruang tak berwarna. Layang-layang yang semula memenuhi ruang pandangan kini tinggal hitungan jari. Langkah mantap yang semula ragu telah pula hilang dari pendengaran lenyap termakan jarak yang kian bertambah. Aku tak sempat menangkap sosoknya ketika susut dari jangkauan mata. Hanya untuk menatap siluet seorang wanita yang telah aku cintai sejak rambutnya masih dikepang dua keberanianku tak bersisa. Aku terlalu takut untuk menyaksikan punggungnya yang menjauh. Tak tau harus bagaimana kumaknai kata maafnya. Kata maaf menyelamatkan egoku untuk sejenak. Aku sedikit lega. Aku tak harus mendengar kata selamat tinggal darinya. Dari seorang wanita yang sangat aku cintai sejak pertama bertemu hingga saat ini. Pada pertemuan terakhir kami di batas senja.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Aku lebih senang jika penduduk bumi tak kenal benda aneh bernama lampu atau aku akan lebih bahagia jika si Thomas Alva Edison tak begitu sesumbar dengan barang temuannya. Aku berharap dulu ia mati tersengat listrik atau tersedak filament wolfram ketika ia tak sengaja menyelipkan benda itu diantara labium inferius dan superiusnya. Menyayat bagian esofagus, dengan gerakan peristaltik yang tak ada ampun.
         
Malam ini langit bersih. Tak ada awan berserabut mengaburkan kepekatan warnanya, meski tak murni gelap. Jelas,dengan ritual makhluk bumi yang kini kian memberhalai kegemerlapan. Kadang aku berharap bisa menyaksikan aurora di bagian bumi yang sedang aku pijak. Kalaupun aurora terlalu mustahil, halo pun tak masalah. Jika masih juga tidak memungkinkan, setidaknya aku ingin menikmati konstelasi dengan jelas dari celah jendelaku. Tapi hal yang satu itupun juga tak kalah mustahilnya. Meski pupilku dapat membesar seluas bola matapun, takkan ada hasil,.
          
H-A-N-U-N-G. Hanung. Ia biasa mengajakku ke puncak Bukit Imogiri. Bagian selatan kota ini. Kota dengan tugu yang secara simbolis sebagai patokan arah garis lurus bersifat magis yang menghubungkan  Puncak Gunung Merapi, Keraton dan Laut Selatan.Bagian yang lebih aman dari asap polusi atau sorotan silau benda pemancar cahaya yang aku anggap semakin menyesakkan hidup.



           
Apa masalahnya jika malam gelap? Bukankah siang sudah terpuaskan untuk menikmati terik matahari? Bukankah Tuhan menciptakan malam, menitipkan gelap, agar kau bisa terlelap dalam tidurmu yang nyenyak? Beristirahat dari penatnya hiruk-pikuk dunia? Entahlah, manusia memang sulit untuk dimengerti kemana alur pemikirannya. Yang pasti ketika malam gelap, pada pekat yang sempurna, aku akan lebih memilih meniduri bumi. Memunggungi tepatnya. Menelisik ke angkasa.Menghadap langit malam yang bertabur gemerlap bintang. Dengan sanggahan kedua tangan. Di atas rerumputan atau pasir pantai.Diantara hembusan angin pegunungan atau tembang ombak yang menderu. Dan akan lengkap rasanya jika disampingmu adalah seseorang yang kau cinta..

"Anjani, kau lihat rasi Crux itu?”

Aku mengangguk.

"Jika para pelaut ataupun mereka yang sedang mengelana memaknainya sebagai penunjuk arah Selatan, maka ia akan membantuku menemukan rasi cinta."

"Kau dapat darimana asterisma itu Nung?"

"Semenjak aku mengenalmu, sejak itu pula aku bisa menarik garis dari Gacrux.Dengan dua garis melengkung yang simetris menggantung pada bintang paling terang di bagian lebih selatan darinya.”
            
Suaranya masih terngiang dalam ingatanku.Kini suaranya semakin berdentum.Makin keras pula menghantam bagian paling rapuh dariku.Memaksa pituitary menjalankan tugasnya sebagai master of gland. Menghadirkan kenangan tentangnya memang selalu berlaku bagai palu godam yang hampir meremukkan benteng pertahananku. Nyaris menghentikan pelarianku.Terseok, dan aku masih harus bertolak.

"Masihkah ada asterisma cinta bagimu Nung?Atau memang masih ada namun hanya tak lagi untukku?"Kalimat terakhir pada lembaran kertasku hari ini.Basah.Cairan bening yang sedari tadi menetes dari sudut mataku merembes pada pori-pori kertas.Beradu pada pekat tinta yang tak kalah cepat meresap mematuhi hukum kapilaritas.


                                                                               -----

 Malam tadi aku sungguh bahagia Nung. Ketika PLN mematikan aliran listrik.Saat setiap orang mengutuki keadaan. Mengeluarkan segala sumpah serapah yang ada dan menyesali kegelapan. Aku pikir tak ada yang lebih membahagiakan dari ini.Entah ini terlihat egois atau tidak, tapi mereka juga sama egoisnya. Memberhalai kegemerlapan, mengubah waktu yang Tuhan berikan untuk terlelap menjadi malam-malam yang sibuk dan menyilaukan.Sebenarnya aku tak terlalu bermasalah dengan itu. Tetapi yang sedikit mengusikku adalah mereka yang menyalahi kodrat, mengganti siang menjadi malam, dan malam menjadi siang. Jika kita masih memelihara gelap dari malam, tau apa mereka tentang dunia malam? Yang aku tau, anak-anak takkan jauh berada dari pelataran rumah. Bermain sebuah permainan kuno dengan anak-anak kampung yang lain. Masih menyadari kehadiran bulan.Bermain sambil mendendangkan sebuah lagu,

“Padang Bulan”

Aku pikir dengan itu mereka bisa merasakan Tuhan Nung. Lewat interaksi dan penghayatannya akan alam. Ibu-ibupun akan sibuk menidurkan anak dalam dekapannya.dan ketika tugas tersebut usaiIa akan memiliki waktu berkualitas dengan pasangan hidupnya. Merencanakan agenda esok hari. Berbincang dalam sebuah dimensi tanpa jarak. Dalam kegelapan. Sebuah dimensi yang terlalu sulit ditemukan pada zaman yang telah terengkuh oleh keangkuhan modernisasi yang kurang mengerti etika.

Malam tadi, Kota ini sungguh indah Nung. Gelap sempurna.Aku bisa melihat konstelasi dari celah jendela kamarku.Beruntungnya tak perlu lagi mencari.Tepat dihadapanku, aku bisa menemukan Rasi Crux. Dan asterisma cintamu begitu jelas terlihat bagiku Num.

“Bolehkah aku menunjukkan asterisma cinta itu pada seseorang Nung? Seseorang yang membuatku tak menganggapmu sebagai seorang bajingan, pengkhianat atau apalah itu sebutan bagi seseorang yang kau anggap mengkhianati hidupmu”

Mataku kini berkaca-kaca. Tak ada kaca yang lebih bening dari ini pikirku.Karena pada saat yang sama, dengan sebuah cairan bening yang membanjiri setiap bagian bola mataku, aku seperti melihat Alpha Crux sebagai sebenar-benarnya bintang ganda. Walau memang seperti itu nyatanya, namunaku tak perlu teleskop saat ini..

“Seperti Acrux yang kini terlihat benar-benar ganda bagiku
.Akupun sadar,jika kaupun kini telah berdua Nung. Bersama seseorang yang juga kau cinta. Aku hanya berharap, seseorang itu adalah sebenar-benarnya bintang yang membuatmu tetap ganda dan terlihat seperti bintang tunggal yang terang dari bumi.Biarlah aku tetap dalam rengkuhanmu, disisi seberang sana pada posisi Gacrux, agar rasi ini tetap utuh dan mampu mengarahkan kita untuk menemukan asterisma cinta. Meski asterisma cintamu tak lagi untukku. Dan aku juga telah mampu memandang asterisma cintamu dengan seseorang disampingku.”

Malam ini aku hanya mampu bergumam Nung, tanpa menuliskan sederet katapun tentangmu diatas secarik kertas. Karena aku cukup tau, kala itu pula, setiap kisah yang aku tulis akan melebur bersama air mata yang tak pernah bisa kubendung. Dan rembesan tinta yang semakin melebar membuatnya tak berarti lagi. Hingga saat inipun, hatiku masih ngilu untuk hanya sekedar mengenangmu Nung. Juga asterisma cintamu.

                                                                          -----

Beberapa waktu terakhir ini aku tak pernah meminta gelap Nung. Aku sama sekali tak mengharapkannya. Bukan aku berhenti mengutuki mereka yang tengah memberhalai kegemerlapan lebih dari apapun. Aku hanya tak ingin gelap semakin memperjelas bayangan sosokmu dalam pandanganku yang menerawang pada pekatnya. Aku kira, kontraksi otot radial yang membuat pupil semakin melebar saat mengumpulkan berkas sinar dalam gelap juga membuat hatiku semakin pedih dengan luka yang kembali menganga. Mendesak sebuah sekat yang telah susah payah aku tegakkan.

Pada waktu yang sama ketika gelap, aku akan mengingat janjimu untuk menikmati setiap waktu datangnya ataupun melepas kepergian sang mentari. Pada batas antara kaki langit dan ujung samudera yang saling bertemu membentuk sebuah garis yang takkan pernah membuat kita jenuh memandangnya. Diantara zenit dan nadir. Sambil menyeruput teh bersama. Kau duduk disampingku, memegang punggung tanganku. Sesekali kau eratkan genggaman tanganmu. Menyuruhku bersandar dalam dekapanmu. Mengecup keningku. Seraya memberikan senyum terindah untukku. Tak bosan membisikkan sebuah kalimat. Kalimat yang memuarakan air dari nirwana. "AKU MENCINTAIMU DENGAN HATI" . Sebuah kalimat yg terdengar sayup-sayup terbawa hembusan angin. Angin yang membelai mesra setiap helai rambut yang kian memutih. Menerpa wajah yang semakin keriput. Kita membunuh waktu berdua. Mendengarkan deru ombak yang syahdu. Sembari menunggu temaram cahaya berwarna jingga, jatuh pada permukaan kulit yang semakin berkerut, menggambar siluet pada ubin beranda rumah.
             
Juga pada janjimu, yang pula akan setia menemaniku bersandar dibawah pohon besar pada pekatnya gelap ditengah dua bidang dengan berkas sinar berpendar. Dimana hanya karena dengan gravitasi kita akan tau mana ruang yang berpadu pada antariksa.

-----the end----- 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts

about me

about me

Follow Me

  • google+
  • facebook
  • instagram

Categories

  • cerpen
  • Flight of Ideas
  • Mozaik

Blog Archive

  • ▼  2014 (11)
    • ►  September (1)
      • Asterisma Cinta
    • ►  November (6)
      • Batas Senja
      • Semasa patah hati, sakit hati atau remuk hatin...
      • Jika mencintaimu adalah bentuk kegilaan, maka si...
      • Jika kau mengenal cinta, disanalah akan kau te...
      • Tiadalah kuasaku dalam menyinggung perkara cin...
      • Beginilah kiranya jika memelihara hidup dalam ...
    • ▼  Desember (4)
      • Detik jam di pergelangan tangannya seirama sa...
      • Tangannya kian beku merabai kaca jendela. Dide...
      • Masa-masa yang Biasa
      • Dikotomi Eksistensial Jomblo
  • ►  2015 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Visitors

Followers

pengunjung online

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates